RUU Pengampunan Nasional Bisa jadi Arena Money Laundry
Munculnya RUU Pengampunan Nasional dalam pembahasan prolegnas prioritas 2015 mendapatkan reaksi keras Anggota Badan Legislasi DPR dari Fraksi NasDem Luthfi A. Mutty. Sebab menurut dia, RUU ini akan berimplikasi pada imunitas para pengemplang pajak dan menjadi ajang money laundry.
Imunitas yang dimaksud Luthfi adalah para pengemplang pajak akan mendapatkan keuntungan yang luar biasa apabila RUU ini resmi menjadi UU. “Negara akan mengampuni para penjahat pajak yang memarkirkan uang di luar negeri. Semangat ini yang kemudian akan memunculkan dampak negatif terhadap kepatuhan dari para wajib pajak yang kelak akan abaikan negara,”kata Luthfi A.Mutty, Selasa, (13/10/2015), di Gedung DPR RI..
Menurut penilaiannya, RUU Pengampunan ini akan memungkinkan korporasi atau perorangan yang akan membersihkan sejarah transaksi keuangannya melalui skema pengampunan pajak oleh negera.
Membaca draft RUU Pengampunan Nasional, dia menjelaskan, yang masuk dalam skema pengampunan pajak adalah seluruh usaha dalam rangka memperoleh kekayaan kecuali teroris, pelaku kejahatan narkoba, dan perdagangan manusia. Dari kandungan salah satu pasal dalam RUU Pengampunan Nasional tersebut, Luthfi melihat bahwa potensi pengampunan terhadap harta hasil korupsi pun tidak terelakan.
“Menurut saya RUU Pengampunan Pajak tidak tepat, potensi money laundry sangat besar disitu” paparnya.
Luthfi juga menuding bahwa ada upaya membawa kepentingan para penjahat pajak dalam RUU Pengampunan yang dimaksud. Menurutnya, pengusulan RUU ini dilakukan oleh anggota DPR yang bahkan di komisinya jelas-jelas tidak mengurusi teknis pajak.
Seharusnya, menurut Luthfi RUU Pengampunan Pajak diajukan oleh Pemerintah karena seluruh kegiatan pengumpulan pajak dan pembuatan basis data adalah kewenangan pemerintah melalui Kementerian Keuangan.
“Seharunya yang mengajukan itu pemerintah bukan DPR, tapi ini sebaliknya. Kita lihat saja partai mana yang bernafsu mengajukan RUU ini. Ada kepentingan apa DPR mengajukan RUU Pengampunan Nasional?” gugat Luthfi.
Luthfi mengakui bahwa sektor pajak adalah sektor terlemah di Indonesia. Ia melihat indikasi salah urus dari hulu dan hilir sehingga pengemplang pajak bisa dengan mudah melakukan aksinya. Dari regulasi misalnya, ia melihat bahwa peraturan yang ada tidak lantas menertibkan para wajib pajak. Malah potensi penerimaan negara dari sektor pajak bisa menguap begitu saja. Di sisi lainnya, anggota DPR dari Dapil Sulawesi Selatan III ini juga mengkritisi tentang peradilan pajak yang kebanyakan diisi oleh para pejabat internal pajak yang nyatanya menciptakan lingkaran korupsi baru.
“Regulasi tentang pajak sangat longgar bagi para pengemplang pajak, dan yang paling saya kritisi adalah peradilan pajak yang diisi oleh orang-orang pajak yang justru akan menciptakan Gayus-Gayus lainnya” tegasnya.
Dalam penilaiannya pemerintah sampai saat ini belum maksimal dalam melakukan pengumpulan pajak. Selain itu, dia juga meragukan pemerintah bisa transparan dan akuntabel ketika pengampunan pajak itu diberlakukan kelak. Lebih jauh dia mengatakan apabila RUU Pengampunan ini jadi disahkan, maka pemerintah perlu membuka dan merilis daftar perusahaan dan individu yang menerima surat pengampunan nasional. Hal tersebut harus disertai dengan detail harta yang diampuni, sebagai upaya memelihara kepercayaan publik.
“Yang jadi pertanyaan adalah pemerintah mampu gak merilis semua (data yang menerima surat pengampunan) itu ke publik. Karena menurut saya transparansi dan akuntabilitas itu harus menjadi prioritas ketika RUU ini gol di DPR,” tutupnya. (as), foto : riska arinindya/parle/hr.